Selasa, 17 Mei 2011

IDENTITAS TAK BERKARTU


kekaburan identitas?


Apa yang terlintas dikepala anda ketika ditanya mengenai identitas?. Apakah itu sejenis kartu yang memuat beberapa informasi pribadi yang sifatnya biasa? Ataukah dia berupa poin poin yang menjadi ciri khas yang anda peroleh dari orang-orang terdekat anda?. Atau malah sesuatu yang  tidak dapat anda ungkapkan?, makin membingungkan pastinya ketika dia tak bisa di ungkapkan. Tetapi intinya, identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Identitas adalah sebuah kata yang sangat sering kita dengar, sehingga tidak asing lagi ketika ini menjadi pembahasan. Tetapi apa iya, pemahaman kita mengenai identitas itu sudah tepat?. 


Dalam kamus besar bahasa Indonesia, disebutkan secara spesifik bahwa identitas adalah ciri khusus. Hal ini menunjukkan bahwa apapun yang menjadi pembeda antara sesuatu dengan yang selainnya dapat dikatakan identitas. Entah itu manusia, budaya, daerah, kelompok dan sebagainya. 

Nah bagaimana jika kata identitas ini disandingkan dengan kata muslim atau muslimah? Tentunya akan menimbulkan beberapa pertanyaan, yang pertama adalah  apa itu identitas muslim/muslimah? Kedua, seberapa penting identitas muslim/muslimah bagi seseorang?ketiga, identitas muslim/muslimah itu termasuk apa saja? Keempat, bagaimana membentuk karakter diri sebagai muslim/muslimah?

Identitas muslim/muslimah
Ketika kata identitas disandingkan dengan kata muslim/muslimah, berarti kita sedikit menyentuh ruang agama dalam membicarakannya. Sebagaimana kita semua tahu bahwa muslim adalah sebutan bagi seorang laki-laki yang beragama Islam sedangkan muslimah adalah sebutan bagi seorang wanita yang beragama Islam. Jadi ketika kedua kata itu disandingkan maka maknanya akan lebih jelas bahwa identitas muslim/muslimah adalah cirri khusus dari seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang beragama Islam. Tapi dalam tulisan ini kita bahas secara keseluruhan saja yakni muslim, karena dalam tingkatan amal shaleh tidak ada perbedaan diantara keduanya.
sejak dini

Dan tentunya identitas muslim adalah sesuatu yang sangat penting karena merupakan citraan dan cerminan sebuah ajaran suci. Identitas muslim itu tidak lain dan tiada bukan adalah akhlak dan karakter kita yang merupakan wujud dari pengamalan kitab suci sebagai seseorang yang beragama. Nah pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana diri kita ini telah menghias tampilan nyata kita sehingga identitas kemusliman terbaca dari diri kita. Sebagaimana Rasulullah dimana kesempurnaan akhlaknya ditunjukkan melalui ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kitab suci umat Islam ini merupakan gambaran dari akhlaknya Nabi Muhammad saw.. Ketika Siti Aisyah ditanya oleh para sahabat tentang akhlak Rasulullah saw., ia menjawab dengan singkat: “Akhlak Rasulullah saw adalah Al-Qur’an. Oleh karena itu disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al-Ahzab (33): 21)

Akhlak dan karakter adalah identitas muslim
Pertanyaannya kemudian setelah kita mengetahui bahwa Rasulullah Saw sebagai suri tauladan kita adalah, apa yang perlu dan mesti kita lakukan dalam meneladani beliau?. Maka jawabannya adalah mendidik akhlak dan karakter kita masing-masing. Pendidikan akhlak atau karakter merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah menjernihkan akal dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) untuk meraih shibgah Allah (Q.S Al- Baqarah ; 138).

Menurut Al-Ghazali, karakter adalah atribut dari rasulullah saw dan merupakan buah dari disiplin diri dan ibadah yang konstan. Sehingga denngan sendirinya akan terbentuk karakter positif dalam perilaku sehari-hari dan karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Yang harus kita lakukan dalam memulai pendidikan karakter kita yang saya kutip dari salah seorang pemikir persia yaitu pertama, penjernihan akal, kedua, penyucian jiwa, ketiga, perbaikan perilaku, dan yang keempat adalah pemurnian amal dan keempat poin ini harus dilakukan secara simultan.

Penjernihan akal (tanqihul aql) berarti mengolah pemikiran secara kritis dan logis. Akal adalah anugerah dari Allah yang memebedakan manusia dengan hewan. Dengan akallah manusia dapat membedakan benar dan salah. Namun lebih dari itu, akal akan menjadi tumpul jika tidak diasah dan dilatih. 

Penyucian jiwa ( tazkiyatun nafs ) adalah sebuah metode yang harus ditempuh manusia agar selalu peka terhadap segala hal yang mengarah kepada kebaikan dan kesempurnaan. Karena fitrah manusia adalah selalu mencari sesuatu yang baik dan benar. Seorang perampok akan meminta kebaikan dari orang lain atas dirinya. Ini menunjukkan bahwa kebaikan tidak bisa lepas dari diri manusia. 

Perbaikan perilaku (tashlih).Dengan pemikiran yang jernih dan dipadu dengan kebersihan jiwa, maka dengan bertahap akan melahirkan perilaku-perilaku yang baik, jiwa sosial yang tinggi dan peduli terhadap sekitarnya. Perbaikan perilaku ini harus senantiasa dijaga kelanggenganya.

Pemurnian amal (tandziful amal). Segala yang dilakukan semata-mata karena kecintaan kepada al-Haq bukan yang lain. Hendaknya setelah akal dan jiwa tersucikan dan kebaikan-kebaikan telah dikerjakan, ia harus perhatikan masalah hakikat dari amal tadi. Bahwa amal perbuatan ini bukanlah yang terlihat secara lahir bahwa itu baik saja. Namun lebih dalam lagi yaitu hakikatnya. Dan ini hanya bisa diraih dengan pemurnian amal. Artinya bahwa kemurnian amal perbuatan benar-benar dijaga sehingga tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain.




Dengan memahami empat poin tersebut, setidaknya seseorang akan menemukan hakikat hidup bermasyarakat, etika bermasyarakat, keikhlasan dalam beramal dan tujuan hidup berdampingan serta integritas insting dalam mencari kebenaran. Dan menampilkan karakter diri yang merupakan identitas ke-muslim-annya, tanpa harus menggunakan sebuah kartu identitas karena segala identitas nya telah tercermin dalam sikap, dan perilakunya.

Sumber, Buletin AnNisa... oleh  Atiqah Alqalb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar