Selasa, 05 April 2011

Mawar yang belum mengerti bahasa air


                              Mawar terkadang dinisbatkan bagi seorang perempuan. Banyak hal yang ada dalam dirinya yang belum dikenali. Pengenalan awam menuntun untuk mencerna hakikat dirinya. Tanah yang jadi pijakannya, tangkai yang jadi tonggak berdirinya, daunnya yang memberinya materi untuk kehidupannya, duri yang dapat melindunginya,. Apa dan bagaimana hadirnya bagi mawar? Begitu pula pertanyaan bagi kaum kita perempuan dengan segenap potensi dan amanah yang diberikan kepadanya.
                              Dominannya rasa bagi perempuan menuntut kecerdasan mengelola rasa itu agar ia nampak pada tempatnya. Tapi bukan berarti bahwa dominannya rasa ini kemudian menutup potensi akal/rasionya. Ketika seorang perempuan sadar bahwa dia mampu mengenali sesuatu dengan rasionya melalui berpikir, maka potensi itulah yang digunakan untuk mengelola rasa menjadi proporsional dan menemukan arah.

                              Salah satu contoh terdekat beda perempuan dan laki-laki adalah tingkat kecemasan. Bagi seorang perempuan tingkat kecemasannya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Tingkat kecemasan itu dibangun oleh faktor adanya rasa kasih sayang yang lebih dan pikiran negatif. Sehingga perempuan dominan dengan rasa ini ketika faktor tersebut membesar dan kecemasan pun membuncah. Inilah yang membutuhkan pengelolaan, metode yang kreatif dan kecerdasan untuk memahami diri.

                              Faktor kasih sayang mestilah di luaskan, agar ia tak menyempit dan terkontekskan pada apa yang ada di sekitarnya. Sehingga ia hadir merealitas pada apa yang “layak” menerimanya. Lalu ia menjadi lapang dan luas.

                              Faktor kedua adalah berpikir negatif. Inilah yang paling dominan pula untuk memicu kecemasan itu. Meskipun tidak semata pada perempuan, laki-laki juga. Sehingga ini menurut hemat saya yang mesti lebih banyak dikelola. Berpikir negatif hanya akan membunuh segenap potensi kita dan menghabiskan energi untuk senantiasa bersedih, terkungkung kecemasan, prasangka dan derita.

                              Berpikir positif akan menghadirkan kebaikan dalam diri kita. Membiasakan berpikir positif akan memberi energi positif bagi jiwa, sehingga dengan pembiasaan pada hal baik jiwa hanya akan menerima kebaikan semata. Seburuk apapun yang di tangkap dihadapan mata, yang terlihat adalah kebaikan dan upaya pembelajaran pada apa yang menjadi hikmahnya. Jika hanya kebaikan yang hadir dalam jiwa, yang merealitas adalah juga kebaikan dalam diri. Kebaikan yang tanpa polesan, tak bertopeng, seiring dengan penyempurnaannya, ia akan menjadi tulus.

                              Kecemasan yang terkelola dengan baik akan berganti dengan cinta. Cinta yang hadir dengan keluasan dan kelapangan hati, yang penuh dengan ketulusan.

                              Nah, pertanyaannya kemudian, apakah kita sudah membiasakan untuk senantiasa berpikir positif? Memandang sesuatu dengan apa adanya sesuatu itu? Membaca realitas dengan positif? Memperlakukan apa yang ada disekitar kita dengan berusaha untuk tulus?

                              Karena dengan hadirnya hal baik dalam diri akan membawa kita pada pengenalan diri sendiri. Menuju pada jalan pengenalan akan Tuhan.

                              Saudariku, sejauh mana kita telah mengenal diri kita sebagai seorang perempuan sehingga belum mengenali Dia, apakah kita hanya akan sampai pada ungkapan bahwa kita “si mawar yang belum mengerti bahasa air”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar